A.
KRONOLOGIS
LAHIRNYA IDEOLOGI PANCASILA
Pancasila
sebagai dasar filsafat serta ideologi bangsa dan Negara Indonesia, bukan terbentuk
secara mendadak serta bukan hanya diciptakan oleh seseorang sebagaimana yang
terjadi pada ideologi-ideologi lain di dunia. Namun terbentuknya Pancasila
melalui proses yang cukup panjang dalam sejarah bangsa Indonesia.
Secara kualitas Pancasila
sebelum disahkan menjadi dasar filsafat Negara nilai-nilainya telah ada dan
berasal dari bangsa Indonesia sendiri yang berupa nilai-nilai adat-istiadat,
kebudayaan dan nilai-nilai religious. Kemudian para pendiri Negara Indonesia
mengangkat nilai-nilai tersebut dirumuskan secara musyawarah mufakat
berdasarkan moral yang luhur, antara lain dalam sidang-sidang BPUPKI pertama,
sidang Panitia Sembilan yang kemudian menghasilkan piagam Jakarta yang memuat
Pancasila yang pertama kali, kemudian dibahas lagi dalam sidang BPUPKI kedua.
Setelah kemerdekaan Indonesia sebelum sidang resmi PPKI Pancasial sebagi calon
dasar filsafat negera dibahas serta disempurnakan kembali dan akhirnya pada
tanggal 18 Agustus 1945 disahkan oleh PPKI sebagai dasar filsafat Negara
Republik Indonesia.
B. PERTENTANGAN IDEOLOGI PANCASILA
Status Pancasila, apakah merupakan ideologi atau
bukan, masih menimbulkan tanggapan berbeda di kalangan ilmuwan. Di satu pihak,
ada yang berpendapat bahwa
Pancasila tidak seharusnya dianggap sebagai ideologi, seperti terlihat pada
pendapat Ongkhokham, Armahedy Mahzar, Garin Nugroho, dan Franz Magnis Suseno.
- Menurut Onghokham Pancasila jelas merupakan
’dokumen politik, bukan falsafah atau ideologi’, dan harus dilihat sebagai
kontrak sosial, yaitu kompromi atau persetujuan sesama warga negara
tentang asas-asas negara baru yang dapat disamakan dengan dokumen-dokumen
penting negara lain seperti Magna Carta di Inggris, Bill of Rights di
Amerika Serikat dan Droit del’homme di Perancis.
- Armahedy Mahzar melihat Pancasila sebagai
ideologi menyebabkan monointerpretasi terhadap Pancasila oleh penguasa.
- Garin menilai bahwa Pancasila dijadikan alat
untuk menciptakan industrialisasi monokultur yang berakibat terjadinya
sentralisasi.
Keduanya
berpendapat bahwa Pancasila tidak boleh lagi menjadi sekadar ideologi politik
negara, melainkan harus berkembang menjadi paradigma peradaban global. Franz
Magnis Suseno menyatakan, ‘Pancasila….lebih tepat disebut kerangka nilai atau
cita-cita luhur bangsa Indonesia secara keseluruhan daripada sebuah ideologi’.
Kecenderungan Pancasila menjadi doktrin yang komprehensif yang terlihat,
pertama, pada anggapan bahwa ideologi berhubungan erat dengan stabilitas dan
kohesi masyarakat, dan kedua, pada anggapan bahwa ideologi sebagai sumber nilai
dan norma dan karena itu harus ditangani (melalui upaya indoktrinasi) secara
terpusat, semuanya, pada akhirnya, akan bermuara pada atau menghasilkan
perfeksionisme negara. Negara perfeksionis adalah negara yang merasa tahu apa
yang benar dan apa yang salah bagi masyarakatnya dan kemudian melakukan
usaha-usaha sistematis agar ‘kebenaran’ yang dipahami negara itu dapat
diberlakukan dalam masyarakatnya. Tetapi mengatakan bahwa Pancasila tidak
seharusnya dianggap sebagai ideologi mengaburkan makna yang lebih kompleks dari
konsep ideologi dan peranannya. Saya ingin menekankan bahwa yang ditolak adalah
bukan Pancasila sebagai ideologi, melainkan pengertian ideologi Pancasila yang
selama ini memperkuat otoritarianisme negara.
Jadi,
ideologi Pancasila tetap memiliki makna yang penting, dan menganggap Pancasila
sebagai ideologi juga bukan tanpa dasar. Marilah kita mulai dengan melihat satu
fenomena menarik dalam perkembangan sejarah Pancasila. Faktanya adalah
Pancasila yang dirumuskan dan dibentuk dalam rangkaian sidang-sidang BPUPKI dan
PPKI menjelang dan setelah diumumkan Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17
Agustus 1945 memang telah mengalami perkembangan. Ia diinterpretasikan dan
bahkan diimplementasikan oleh berbagai aktor dan kekuatan politik untuk
mewarnai kehidupan berbangsa sepanjang sejarah Indonesia dengan caranya
masing-masing.Jadi, mengapa Pancasila sebagai ideologi tidak dapat ditolak,
penjelasannya mirip dengan apa yang terjadi pada perkembangan ideologi komunis
Cina. Seperti halnya ideologi komunis Cina, ideologi Pancasila (dan
sesungguhnya juga semua ideologi) memiliki daya hidup. Ideologi penting karena
dapat menjelaskan bagaimana sebuah masyarakat berpikir dan berperilaku. Dengan
kata lain, ideologi selalu memiliki tempat dalam kesadaran, dan arti penting
ideologi dapat dipahami jika kita bisa mengenali sifat permanen dari kesadaran
itu, tanpa komitmen yang merendahkannya. Sebagaimana kasus ideologi komunis
Cina, kesadaran ini juga berarti dua hal. Pertama, Pancasila bisa dilihat
sebagai ’ideologi informal’, yaitu ’kompleks dari nilai-nilai kebudayaan,
preferensi, prasangka, kecenderungan, kebiasaan dan proposisi-proposisi yang
tidak dinyatakan tetapi diterima luas mengenai realitas yang mengkondisikan
cara bagaimana para aktor politik berperilaku. Kedua, Pancasila juga bisa
dilihat sebagai ‘ideologi formal’, yang jika pada kasus ideologi komunis Cina
akan menunjuk pada pemikiran Marxisme-Leninisme-Mao Zedong, maka ideologi
formal Pancasila juga menunjuk pada ‘bentuk pemikiran yang sistematis dan
eksplisit, diformulasikan secara masuk akal dan diartikulasikan secara baik’.
C.
KESIMPULAN
Lahirnya
Ideologi Pancasila dicetuskan oleh para kaum tua yang dirinci oleh panitia
Sembilan pada saat sidang. Dari beberapa pendapat , terjadi polemik antara
pembuat rincian pancasila . Setelah di sidang beberapa tahap , akhirnya
Pancasila di cetuskan dengan beberapa rekomendasi yang mendasar. Tidak hanya
itu , banyak pertentangan tentang Ideologi Pancasila menurut beberapa tokoh di
dunia. Bahwa Pancasila itu bukan suatu Ideologi melainkan dokumen politik dan
dilihat dari segi kontrak social. Jadi,
ideologi Pancasila tetap memiliki makna yang penting, dan menganggap Pancasila
sebagai ideologi juga bukan tanpa dasar. Marilah
kita mulai dengan melihat satu fenomena menarik dalam perkembangan sejarah
Pancasila. Faktanya adalah Pancasila yang dirumuskan dan dibentuk dalam
rangkaian sidang-sidang BPUPKI dan PPKI menjelang dan setelah diumumkan
Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 memang telah mengalami
perkembangan.
Pertentangan pendapat tentang
status Pancasila itu justru penting dan menarik dipahami karena memberikan
petunjuk tentang cara pandang baru terhadap Pancasila; seperti yang sudah saya
jelaskan, Pancasila sebagai doktrin yang komprehensif yang pernah berkembang
selama ini rupa-rupanya telah semakin disadari berbahaya karena dapat
memperkuat otoriarianisme negara. Menurut saya, pandangan ini benar, dan
pilihan yang tersedia adalah menjadikan Pancasila sebagai konsepsi politis.
Saya sendiri merasa bahwa Pancasila sebagai sebuah konsepsi politis sudah
dengan sendirinya sangat bermakna, yaitu untuk keluar dari kebuntuan selama ini
tentang apa yang harus dilakukan berkenaan dengan Pancasila yang oleh banyak
kalangan dianggap mengalami kemerosotan makna. Kenyataannya
, dari sila pertama hingga sila kelima hanya akan menjadi “LUBANG TAI SEJARAH”
yang tak akan pernah bisa berjalan dalam kehidupan yang nyata pada saat ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Kaelan.
2001. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma
Rukiyanti,
dkk. 2008. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta : UNY Press
Budiarto Danujaya,
“Reinventing Ideology”, Kompas, 23 Juni 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar